Page Nav

HIDE

Breaking News:

latest

Ads Place

Aroma Harapan di Tengah Perang dan Pohon Lemon

Aroma Harapan di Tengah Perang dan Pohon Lemon Ledakan yang mengoyak langit Suriah meninggalkan lebih dari sekadar puing dan debu. Di tana...

Aroma Harapan di Tengah Perang dan Pohon Lemon



Ledakan yang mengoyak langit Suriah meninggalkan lebih dari sekadar puing dan debu. Di tanah yang dulu penuh tawa, kini hanya ada keheningan yang menekan dada. Dalam pusaran perang yang tak berkesudahan, setiap langkah terasa seperti berjalan di atas luka yang belum kering. Novel As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh menghadirkan kisah yang menelusup jauh ke dalam nurani, mengajak menyelami getirnya kehilangan, sekaligus manisnya secercah harapan yang tumbuh di tengah reruntuhan.

Dalam halaman-halaman yang hidup, pembaca diajak menyaksikan pergulatan batin remaja bernama Salama Kassab—seorang mahasiswa farmasi yang mendadak menjadi relawan di rumah sakit darurat. Kehidupan yang dulu penuh warna berubah menjadi malam panjang yang tak berujung. Setiap pasien yang diselamatkan meninggalkan jejak trauma mendalam, dan setiap kehilangan menorehkan luka baru di hati yang sudah rapuh. Namun di balik itu, tumbuh dorongan naluriah untuk tetap bertahan, karena di tengah kehancuran masih ada makna yang bisa digenggam.

Kisah ini bukan sekadar cerita perang, tetapi cermin yang menyorot rasa takut terdalam manusia. Sosok Khawf—bayangan yang menghantui Salama—melambangkan kecemasan yang terus berbisik dalam benak para penyintas. Ia bukan sekadar figur imajiner, melainkan personifikasi dari PTSD yang tumbuh dari trauma perang. Di sinilah letak kejeniusan Zoulfa Katouh; ia menulis dengan empati yang tajam, memadukan sisi emosional dan rasional, menuntun pembaca memahami bahwa luka jiwa tak kalah nyata dari luka fisik.

Setiap bab membawa aroma lemon yang khas—simbol kehidupan yang bertahan meski dunia di sekelilingnya runtuh. Pohon lemon menjadi metafora dari keteguhan harapan, menggambarkan bahwa bahkan di tanah yang disirami darah dan air mata, sesuatu masih bisa tumbuh. Melalui hubungan Salama Kassab dan Kenan, kisah ini menyalakan api kecil di hati pembaca—api yang menyala bukan karena cinta yang ringan, melainkan karena keberanian untuk bermimpi di tengah kehancuran.

Novel ini menantang pembaca untuk melihat revolusi bukan sekadar sebagai pergolakan politik, tetapi sebagai perjuangan batin manusia mempertahankan kemanusiaannya. Setiap tindakan penyelamatan, setiap doa yang dipanjatkan, adalah bentuk kecil dari perlawanan terhadap kebisuan dan ketakutan. Di balik semua kesedihan, As Long As The Lemon Trees Grow menegaskan bahwa pengungsi bukanlah angka dalam laporan berita, melainkan manusia yang membawa cerita, ingatan, dan impian.

Rasa sakit yang digambarkan begitu nyata hingga menimbulkan insting pelindung dalam diri pembaca. Ada dorongan emosional untuk memeluk, menenangkan, dan berharap bersama. Namun di sisi lain, ada kesadaran rasional bahwa kisah seperti ini bukan sekadar fiksi, melainkan pantulan dari realitas yang masih terjadi. Itulah keunikan fiksi semacam ini: mampu menjembatani hati dan pikiran, mengajak merenung sekaligus bertindak.

Dalam perjalanan membaca, ada rasa nyeri yang perlahan berubah menjadi kehangatan. Ketika Kenan muncul sebagai secercah cahaya, pembaca merasakan kembali denyut kehidupan yang nyaris padam dalam diri Salama Kassab. Kehadirannya tidak menghapus rasa sakit, tetapi menumbuhkan keyakinan bahwa harapan bisa tumbuh dari luka. Inilah kekuatan utama novel ini—memadukan kesedihan dan kekuatan dalam satu tarikan napas.

Sebagai karya bestseller yang kini tersedia di Gramedia, buku ini bukan sekadar bacaan, melainkan pengalaman emosional yang menggugah nurani. Setiap halaman mengajak untuk memahami bahwa empati bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keberanian yang paling tulus. Dalam dunia yang sering kali menutup mata terhadap penderitaan, kisah Suriah ini menjadi pengingat bahwa manusia masih bisa saling menyembuhkan lewat cerita.

Dengan kekuatan narasi yang menggugah insting dan logika, Zoulfa Katouh berhasil menulis karya yang menembus batas bahasa dan budaya. Ia menyentuh sisi terdalam dari kemanusiaan, menghadirkan kesadaran bahwa bahkan ketika dunia seolah menolak cahaya, satu pohon lemon yang bertahan dapat menjadi simbol dari seluruh harapan umat manusia.

Untuk informasi selengkapnya klik disini.

Tidak ada komentar

Latest Articles